Sunday, May 24, 2020

IEDUL FITRI 1441 H

Fajar Iedul Fitri telah tiba
Mari kita sambut dengan gembira
Meski Pandemi Corona tengah melanda

Lebaran kali ini terasa beda
Karena kami tidak kemana-mana
Bahkan Shalat Iedul Fitri dilakukan disini
Di rumah saja, bersama keluarga tercinta

Kami tidak berkunjung dan dikunjungi sanak saudara dan tetangga
Semua terkurung di rumah dalam kesepiannya



Sungguh, kami tidak membenci Corona
Karena kami tau, semua terjadi atas izin Allah
Tidak ada satupun Dia ciptakan sia-sia
Pasti ada makna dibaliknya

Ya Allah..
Jadikanlah Ramadhan kemarin penuh berkah dan makna
Sucikan kami pada akhirnya
Dan pertemukanlah kembali kami pada Ramadhan berikutnya
Namun dengan suasana yang penuh suka cita

Lebaran kali ini terasa beda
Kami tetap disini Di Rumah Saja
Kelak, suatu saat nanti akan jadi cerita
Kita pernah berlebaran di tengan pandemi Corona




Bogor, 24 Mei 2020 Iedul Fitri 1441 H
Saat Pandemi Corona melanda

Friday, May 22, 2020

Antara Kita dan Corona

Sudah hampir menuju 3 bulan sejak diberlakukannya School from home (SfH) dan Work From Home (WfH), pandemi Corona alias Covid-19 belum menunjukan tanda-tanda akan berakhir. Padahal baik SfH maupun WfH sudah beberapa kali diperpanjang. Tidak adanya sinyalemen berakhirnya pandemi, akankah berarti masa SfH dan WfH akan mengalami perpanjangan lagi? Ibarat pertandingan, waktu perpanjangan hanya diberi kesempatan 2 kali. Setelah itu penalti. Apapun hasilnya, pertandingan dianggap selesai. Mungkin demikian juga dengan nasib SfH dan WfH kelak.

Namun bukan soal perpanjangan masa SfH dan WfH yang akan dibahas dalam tulisan ini, tapi bagaimana kita menyikapi efek pandemi Corona.
Di sisi manakah kita selama ini, apakah termasuk yang suka 'menggerutu' ataukah termasuk kelompok yang pandai 'bersyukur'? 
Semua orang marah pada pandemi ini, sudah pasti. Utamanya, karena Corona banyak memakan korban jiwa.
Pandemi juga telah memenjarakan kita – semua para penghuni bumi tanpa kecuali. Ruang gerak dibatasi, yang suka travelling dipaksa untuk duduk manis di rumah. Yang hobi belanja, simpan saja uangnya untuk tahun-tahun berikutnya. Dan yang senang kumpul-kumpul, silahkan menghibur diri di group Whatsapp atau aplikasi chat lainnya. Jelasnya, semua dipaksa banyak bersabar dan ‘tahan diri’.

Sementara bagi mereka yang bersyukur, tentu bukan bersyukur penyebaran virusnya, tapi lebih ke arah melihat sisi baik efek pandemi. Pandemi membuat kita lebih banyak diam di rumah. Anggota keluarga yang selama ini sibuk dengan dunia masing-masing, kini bisa berkumpul dan mengakrabkan diri kembali. Seorang ibu pekerja, bisa menemani anaknya belajar dan mengajaknya bermain, begitu pula Ayah.
Atau mungkin ada juga yang mendadak tersadar bahwa ternyata diam di rumah terlalu lama membosankan juga, sehingga yang sebelumnya berniat untuk resign dari status Pegawai Negeri Sipil (PNS) jadi dipikir ulang.  Tambahan lagi, melihat kenyataan bahwa pandemi yang memukul dunia usaha hingga berujung PHK, nyatanya hanya sedikit berimbas pada mereka yang berstatus PNS. Status pegawai masih ditangan dan tetap terima gaji plus tunjangan. Maka, nikmat Tuhanmu mana lagikah yang Engkau dustakan? (Qs. Ar-Rahman).

Tanpa disadari, Corona juga telah mengistirahatkan bumi. Gerakan  #DiRumahSaja yang digaungkan di berbagai negara termasuk Indonesia, membuat bumi sejenak terbebas dari segala macam polusi. Bayangkan, selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), jalanan sepi dan lancar jaya. Dan kondisi seperti ini apakah bisa seterusnya meski pandemi berakhir? Kemarin PSBB dilonggarkan sedikit saja, jalanan kembali 'semarak' dan lautan manusia memenuhi semua sudut pasar.

Bahkan bulan suci Ramadhan kali ini terasa 'lain'. Umat islam 'dipaksa' untuk lebih banyak diam di rumah, beribadah. Bukan tawaf di mall, seperti kebiasaan beberapa orang tahun-tahun lalu (termasuk saya). Kita dipaksa untuk lebih banyak merenung, bersyukur dengan apa yang didapat dan ikhlas dengan apa yang terjadi.  Kepekaan sosial kita pun diuji. Sesekali lihat kiri-kanan, depan-belakang, apakah ada yang terpuruk ekonominya karena Corona? Buka mata, buka hati. Jangan segan untuk merogoh kantong, meski sedikit tapi sangat berarti.

Beberapa hari ke depan Idul Fitri akan tiba. Lalu bagaimana nanti hari lebaran silaturahmi? gampang, ada berbagai pilihan aplikasi tersedia. Jangan lupa undang teman dan sanak saudara. Ikuti anjuran Pemerintah: tidak perlu mudik atau kumpul keluarga lebih dari 5. Cukup sampaikan ucapan maaf dan hari raya lewat aplikasi tadi. Yang penting maknanya bukan medianya. Meski jauh di mata, namun tetap dekat di hati.

Hingga saat ini tidak ada ahli yang bisa memprediksi kapan pandemi Corona akan berakhir. Lantas apakah kita selamanya akan berdiam di rumah menunggu sesuatu yang tak pasti? SfH dan WfH tidak mungkin seterusnya. Kehidupan harus tetap berjalan. Pada akhirnya kita memang harus ‘berdamai’ dengan Corona. Dalam arti kata, kita kembali ke kehidupan normal, meski Corona masih di sekitar kita. Namun kehidupan ‘normal’ yang sekarang tidak sama seperti sebelumnya. New normal life, begitu istilahnya.

Anak-anak akan kembali ke sekolah, karyawan kembali ke kantor, pedagang kembali ke pasar, tapi mereka tetap harus jaga jarak dan membiasakan gaya hidup sehat. Gunakan masker saat keluar rumah, rajin cuci tangan dan jaga daya tahan tubuh dengan makanan bergizi dan asupan vitamin. Berat memang, tapi mau gimana lagi? Corona masih disekitar kita dan siap mengintai siapa saja yang lengah dan tak berdaya.

Satu hal paling penting: tetaplah berpikir positif. 
Percayalah, Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Pasti ada makna luar biasa dibaliknya. 



Bogor, 20 Mei 2020, pada suatu hari di teras rumah saat pandemi melanda.


Friday, October 27, 2017

Rinduku Padamu Ibu (2)


Larut malam bergerak perlahan
Tiada lagi kulihat sosokmu disini
Kemanakah gerangan dirimu Ibu?

Malam mendekapku dalam gelap
Sinar bulan tak cukup menuntun langkahku untuk mencari jejakmu kesana
Terkungkung disini, dalam sepi, harus bagaimana?

Sesal disini, tiada berguna
Begitu berlalu, semua terasa hampa
Kemarin kau disini Ibu. Bersamaku
Namun keberadaanmu kusia-sia begitu saja
Betapa bodohnya aku?

Waktu terus menderaku
Gelisah menghantui setiap helaan nafasku
Masihkah ada waktu untukku
Bersua dan bersimpuh dihadapanmu kembali

Dalam doa dan dzikir panjang di setiap sholat malam
Melalui lantunan ayat-ayat suci Al-Quran
kusampaikan rasa rinduku padamu Ibu

Smoga Allah melimpahkan kasih sayang-Nya padamu disana..